Jumat, 29 Desember 2017

definisi, dalil, syarat badal haji

1.      Badal haji
Secara, bahasa, badal haji atau haji badalberarti amanah hajiatau menghajikan orang lain. Dalam terminologi fikih badal haji adalah haji yang dilakukan seseorang atas nama orang yang sudah meninggal atau karenaadanya udzur syar’i baik jasmani maupun rohani[1]

2.      Pendapat kita
Jadi menurut yang kami pahami berdasarkan definisi badal haji atau haji badal adalah menghajikan seseorang di karenakan udzur syar’i atau karena meninggal dunia oleh orang lain namun di niatkan bahwa kita menghajikan seseorang yang memiliki udzur tersebut, dengan mengatas namakan seseorang tersebut.

3.      Badal haji menurut 4 madzhab
Imam Hanafi, Syafi’i dan Hanbali membolehkannya dengan syarat orang tersebut memiliki uzur syar’i yang berlaku seumur hidupnya, atau setidaknya diduga akan berlangsung seumur hidup.
Menurut Imam Malik, “Orang yang meninggal tersebut dapat diwakili hajinya bila mewasiatkan saja. Namun jika tidak, maka tidak perlu diwakili hajinya. Alasannya, haji adalah ibadah yang lebih menonjolkan aspek fisik, sehingga tidak dapat diwakilkan. Sedangkan bila diwakili hajinya, maka biayanya diambil dari sepertiga (harta warisnya)[2]
madzhab syafi’i dan hambali menyatakan pula biaya pelaksanaan dapat di ambil dari harta peninggalannya.[3]

4.      Dalilnya
Dalam hadis dari Ibnu Abbas r.a., juga telah disebutkan :
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., bahwasanya ada seorang wanita dari kabila Juhainah mendatangi Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji hingga ia meninggal. Apakah aku harus menunaikan haji atas namanya?” beliau bersabda, “Ya, tunaikanlah haji atas namanya, seandainya ibumu berhutang, apakah engkau akan membayarnya? Tunaikanlah untuk Allah. Maka, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati hak-Nya.”(H.R.Bukhari).[4]

Hadist riwayat Ibnu Abbas “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?” Jawab Rasulullah “Ya, berhajilah untuknya” (H.R. Bukhari Muslim dll.)

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata “Ayahku meninggal, padahal dipundaknya ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab “Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib membayarnya ? “Iya” jawabnya. Rasulullah berkata :”Berahajilah untuknya”. (H.R. Dar Quthni)
Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata “Labbaik ‘an Syubramah” (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?”. “Dia saudaraku, Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah”, lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan “Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah”. Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an. Dalam sebuah hadist riwayat Ubay bin Ka’ab pernah mengajari al-Qur’an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja”.(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah” (H.R. Abu Dawud)[5]

5.      Pendapat yang paling kuat
Pendapat yang paling kuat tentunya pendapat jumhur ulama yakni imam syafi’i, hambali, hanafi. Sebagaimana telah di terangkan di atas.

6.      Syarat badal haji
Mayoritas ulama fiqih membolehkan seseorang mewakilkan pelaksanaan hajinya kepada orang lain selama memenuhi beberapa syarat berikut ini:[6]
1.      Fisiknya terus-menerus lemah sampai ia meninggal, seperti orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh lagi dan orang tunanetra. Bila seseorang dalam keadaan lemah tidak dapat mengerjakan haji sendiri. dan ia meminta orang lain mengerjakannya, gugurlah kewajiban pergi sendiri untuk menunaikan ibadah haji baginya, meskipun sewaktuwaktu keudzurannya tidak ada lagi. Bagi orang sakit yang dapat diharapkan sembuh dan orang lain menggantikan pelaksanaan ibadah hajinya, kemudian hilang keudzurannya, maka haji yang telah dilakukan tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban menunaikan haji sendiri.
2.      Hendaknya ibadah haji itu diniatkan atas nama orang yang menyuruh. Jika si pengganti meniatkan untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut tidak dipandang haji badal.
3.      Hendaklah sebagian besar biaya pelaksanaan ibadah haji badal dibebankan kepada orang yang dihajikan.
4.      Ulama madzhab Hanafi tidak mensyaratkan upah bagi orang yang menghajikan, ia hanya diberi biaya untuk pelaksanaan haji yang diperlukan.
5.      Hendaklah orang yang mengerjakan haji badal, mengerjakan haji sesuai dengan  yang dimaksud oleh yang dihajikan. Bila disuruh untuk mengerjakan haji qiran, ia tidak boleh mengerjakan haji tamattu‟ atau haji ifrad.
6.      Hendaklah niat ihram untuk seorang saja. Bila ia melakukan niat ihram untuk  orang yang dihajikan dan dirinya sendiri, haji itu tidak untuk keduanya.
7.      Mestilah orang yang menghajikan dan orang yang dihajikan muslim dan berakal. Tidak sah berhaji oleh dan untuk orang kafir serta oleh dan untuk orang gila, kecuali kegilaan itu setelah pelaksanaan ibadah haji.
8.      Orang yang menghajikan haruslah mumayyiz. Anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah menghajikan orang lain.
9.      Hendaklah yang menghajikan tersebut laki-laki. Tidak sah dihajikan oleh perempuan.
10.  Haruslah orang yang menghajikan merdeka. Tidak sah dihajikan oleh budak.
11.  orang yang melaksanakan badal haji disyaratkan sudah melaksanakan haji untuk dirinya baik mampu atau tidak.[7]

Orang yang mewakilkannya

Madzhab Hanafi menetapkan dua puluh syarat dan ketentuan untuk bolehnya berhaji atas nama orang lain. Akan disebutkan syarat-syarat ini disertai pendapat para fuqaha yang lain:[8]
1. Wakil berniat pada waktu ihram atas nama orang tersebut, bukan atas nama dirinya sendiri. Lebih utama wakil mengucapkan dengan lisannya, “Aku berihram atas nama Fulan,” “Aku penuhi panggilan untuk berhaji atas nama Fulan,” “Aku berniat dan berihram haji atas nama Fulan dengan ikhlas kepada Allah,” atau “kupenuhi panggilan-Mu untuk berhaji atas nama Fulan,” seperti halnya jika dia berhaji atas nama dirinya sendiri. Jika wakil lupa atas nama orang itu lalu dia meniatkan haji itu untuk orang yang mewakilkan kepadanya, maka ini sah. Niat dalam hati saja cukup. Syarat ini disepakati semua fuqaha.
2. Ashil (pengemban asli kewajiban haji) tidak mampu menunaikan haji  sendiri sementara dia punya harta. Jika ia mampu menunaikan sendiri (yakni dia sehat) dan dia punya harta, orang lain tidak boleh mewakilinya berhaji.
3. Ketidaksanggupan itu (misalnya kurungan/tahanan atau sakit) berlanjut terus  sampai mati. Syarat ini disepakati oleh madzhab Hanafi dan Syafi‟i.
4. Adanya udzur sebelum mewakilkan kepada orang lain
5. Nafkah berasal dari harta orang yang mewakilkan
6. Berihram dari miqat sesuai permintaan orang yang mewakilkan
7. Suruhan untuk berhaji
8. Si wakil harus memenuhi syarat haji agar hajinya sah
9. Si wakil berangkat haji dengan berkendaraan, sebab yang wajib atasnya adalah pergi haji dengan berkendaraan, maka perintah yang mutlak (yang tidak dijelaskan detil tata cara pelaksanaannya) untuk berhaji diartikan dengan pelaksanaan haji dengan cara tersebut.
10. Si wakil berangkat haji atas nama orang yang diwakilinya dari negerinya jika sepertiga warisannya mencukupi, hal ini dalam kondisi jika haji tersebut diwasiatkan





[1] Abdul halim, Ensiklopedi hajidan umrah/Abdul halim, ed 1.cet,1. Jakarta. PT. Raja Grafindopersada, 2002, 13.
[2] Mohamad Taufik Hulaimi dkk., Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid I, Cet. I, Jakarta: al-
I’tishom Cahaya Umat, 2010.
[3] Abdul halim, Ensiklopedi hajidan umrah/Abdul halim, ed 1.cet,1. Jakarta. PT. Raja Grafindopersada, 2002, 13.
[4] Muhammad Bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul
Maram, Jilid ll, Cet. Vlll, Jakarta: Darus Sunnah, 2013.
[5] Shek faishalbin Abd aziz, Muhtasar Nailul Author Himpunan Hadis Hukum. Surabayan: Bina ilmu, 1993. 1374. Atau sunan abiu daud hadis No 1811, sunan ibnu majjah hadis no.2930 dan shahih ibnu khuzaimah hadis No. 3039.
[6] Said Agil Husin Al-Munawar, Fiqih Haji: Menuntun Jama’ah Haji Mencapai Haji Mabrur, Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
[7] Umi Aqilla, Panduan Praktis Haji dan Umrah, Cet. I, Jakarta: al-Maghfirah, 2013.
[8] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid III, Cet. X, Jakarta: Darul Fikr,
2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar