Jumat, 29 Desember 2017

definisi, dalil, syarat badal haji

1.      Badal haji
Secara, bahasa, badal haji atau haji badalberarti amanah hajiatau menghajikan orang lain. Dalam terminologi fikih badal haji adalah haji yang dilakukan seseorang atas nama orang yang sudah meninggal atau karenaadanya udzur syar’i baik jasmani maupun rohani[1]

2.      Pendapat kita
Jadi menurut yang kami pahami berdasarkan definisi badal haji atau haji badal adalah menghajikan seseorang di karenakan udzur syar’i atau karena meninggal dunia oleh orang lain namun di niatkan bahwa kita menghajikan seseorang yang memiliki udzur tersebut, dengan mengatas namakan seseorang tersebut.

3.      Badal haji menurut 4 madzhab
Imam Hanafi, Syafi’i dan Hanbali membolehkannya dengan syarat orang tersebut memiliki uzur syar’i yang berlaku seumur hidupnya, atau setidaknya diduga akan berlangsung seumur hidup.
Menurut Imam Malik, “Orang yang meninggal tersebut dapat diwakili hajinya bila mewasiatkan saja. Namun jika tidak, maka tidak perlu diwakili hajinya. Alasannya, haji adalah ibadah yang lebih menonjolkan aspek fisik, sehingga tidak dapat diwakilkan. Sedangkan bila diwakili hajinya, maka biayanya diambil dari sepertiga (harta warisnya)[2]
madzhab syafi’i dan hambali menyatakan pula biaya pelaksanaan dapat di ambil dari harta peninggalannya.[3]

4.      Dalilnya
Dalam hadis dari Ibnu Abbas r.a., juga telah disebutkan :
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., bahwasanya ada seorang wanita dari kabila Juhainah mendatangi Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji hingga ia meninggal. Apakah aku harus menunaikan haji atas namanya?” beliau bersabda, “Ya, tunaikanlah haji atas namanya, seandainya ibumu berhutang, apakah engkau akan membayarnya? Tunaikanlah untuk Allah. Maka, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati hak-Nya.”(H.R.Bukhari).[4]

Hadist riwayat Ibnu Abbas “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?” Jawab Rasulullah “Ya, berhajilah untuknya” (H.R. Bukhari Muslim dll.)

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata “Ayahku meninggal, padahal dipundaknya ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab “Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib membayarnya ? “Iya” jawabnya. Rasulullah berkata :”Berahajilah untuknya”. (H.R. Dar Quthni)
Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata “Labbaik ‘an Syubramah” (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?”. “Dia saudaraku, Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah”, lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan “Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah”. Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an. Dalam sebuah hadist riwayat Ubay bin Ka’ab pernah mengajari al-Qur’an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja”.(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah” (H.R. Abu Dawud)[5]

5.      Pendapat yang paling kuat
Pendapat yang paling kuat tentunya pendapat jumhur ulama yakni imam syafi’i, hambali, hanafi. Sebagaimana telah di terangkan di atas.

6.      Syarat badal haji
Mayoritas ulama fiqih membolehkan seseorang mewakilkan pelaksanaan hajinya kepada orang lain selama memenuhi beberapa syarat berikut ini:[6]
1.      Fisiknya terus-menerus lemah sampai ia meninggal, seperti orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh lagi dan orang tunanetra. Bila seseorang dalam keadaan lemah tidak dapat mengerjakan haji sendiri. dan ia meminta orang lain mengerjakannya, gugurlah kewajiban pergi sendiri untuk menunaikan ibadah haji baginya, meskipun sewaktuwaktu keudzurannya tidak ada lagi. Bagi orang sakit yang dapat diharapkan sembuh dan orang lain menggantikan pelaksanaan ibadah hajinya, kemudian hilang keudzurannya, maka haji yang telah dilakukan tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban menunaikan haji sendiri.
2.      Hendaknya ibadah haji itu diniatkan atas nama orang yang menyuruh. Jika si pengganti meniatkan untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut tidak dipandang haji badal.
3.      Hendaklah sebagian besar biaya pelaksanaan ibadah haji badal dibebankan kepada orang yang dihajikan.
4.      Ulama madzhab Hanafi tidak mensyaratkan upah bagi orang yang menghajikan, ia hanya diberi biaya untuk pelaksanaan haji yang diperlukan.
5.      Hendaklah orang yang mengerjakan haji badal, mengerjakan haji sesuai dengan  yang dimaksud oleh yang dihajikan. Bila disuruh untuk mengerjakan haji qiran, ia tidak boleh mengerjakan haji tamattu‟ atau haji ifrad.
6.      Hendaklah niat ihram untuk seorang saja. Bila ia melakukan niat ihram untuk  orang yang dihajikan dan dirinya sendiri, haji itu tidak untuk keduanya.
7.      Mestilah orang yang menghajikan dan orang yang dihajikan muslim dan berakal. Tidak sah berhaji oleh dan untuk orang kafir serta oleh dan untuk orang gila, kecuali kegilaan itu setelah pelaksanaan ibadah haji.
8.      Orang yang menghajikan haruslah mumayyiz. Anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah menghajikan orang lain.
9.      Hendaklah yang menghajikan tersebut laki-laki. Tidak sah dihajikan oleh perempuan.
10.  Haruslah orang yang menghajikan merdeka. Tidak sah dihajikan oleh budak.
11.  orang yang melaksanakan badal haji disyaratkan sudah melaksanakan haji untuk dirinya baik mampu atau tidak.[7]

Orang yang mewakilkannya

Madzhab Hanafi menetapkan dua puluh syarat dan ketentuan untuk bolehnya berhaji atas nama orang lain. Akan disebutkan syarat-syarat ini disertai pendapat para fuqaha yang lain:[8]
1. Wakil berniat pada waktu ihram atas nama orang tersebut, bukan atas nama dirinya sendiri. Lebih utama wakil mengucapkan dengan lisannya, “Aku berihram atas nama Fulan,” “Aku penuhi panggilan untuk berhaji atas nama Fulan,” “Aku berniat dan berihram haji atas nama Fulan dengan ikhlas kepada Allah,” atau “kupenuhi panggilan-Mu untuk berhaji atas nama Fulan,” seperti halnya jika dia berhaji atas nama dirinya sendiri. Jika wakil lupa atas nama orang itu lalu dia meniatkan haji itu untuk orang yang mewakilkan kepadanya, maka ini sah. Niat dalam hati saja cukup. Syarat ini disepakati semua fuqaha.
2. Ashil (pengemban asli kewajiban haji) tidak mampu menunaikan haji  sendiri sementara dia punya harta. Jika ia mampu menunaikan sendiri (yakni dia sehat) dan dia punya harta, orang lain tidak boleh mewakilinya berhaji.
3. Ketidaksanggupan itu (misalnya kurungan/tahanan atau sakit) berlanjut terus  sampai mati. Syarat ini disepakati oleh madzhab Hanafi dan Syafi‟i.
4. Adanya udzur sebelum mewakilkan kepada orang lain
5. Nafkah berasal dari harta orang yang mewakilkan
6. Berihram dari miqat sesuai permintaan orang yang mewakilkan
7. Suruhan untuk berhaji
8. Si wakil harus memenuhi syarat haji agar hajinya sah
9. Si wakil berangkat haji dengan berkendaraan, sebab yang wajib atasnya adalah pergi haji dengan berkendaraan, maka perintah yang mutlak (yang tidak dijelaskan detil tata cara pelaksanaannya) untuk berhaji diartikan dengan pelaksanaan haji dengan cara tersebut.
10. Si wakil berangkat haji atas nama orang yang diwakilinya dari negerinya jika sepertiga warisannya mencukupi, hal ini dalam kondisi jika haji tersebut diwasiatkan





[1] Abdul halim, Ensiklopedi hajidan umrah/Abdul halim, ed 1.cet,1. Jakarta. PT. Raja Grafindopersada, 2002, 13.
[2] Mohamad Taufik Hulaimi dkk., Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid I, Cet. I, Jakarta: al-
I’tishom Cahaya Umat, 2010.
[3] Abdul halim, Ensiklopedi hajidan umrah/Abdul halim, ed 1.cet,1. Jakarta. PT. Raja Grafindopersada, 2002, 13.
[4] Muhammad Bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul
Maram, Jilid ll, Cet. Vlll, Jakarta: Darus Sunnah, 2013.
[5] Shek faishalbin Abd aziz, Muhtasar Nailul Author Himpunan Hadis Hukum. Surabayan: Bina ilmu, 1993. 1374. Atau sunan abiu daud hadis No 1811, sunan ibnu majjah hadis no.2930 dan shahih ibnu khuzaimah hadis No. 3039.
[6] Said Agil Husin Al-Munawar, Fiqih Haji: Menuntun Jama’ah Haji Mencapai Haji Mabrur, Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
[7] Umi Aqilla, Panduan Praktis Haji dan Umrah, Cet. I, Jakarta: al-Maghfirah, 2013.
[8] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid III, Cet. X, Jakarta: Darul Fikr,
2011.

Selasa, 26 Desember 2017

 Pendapat para Ulama’ Fiqih tentang Mustahiq Zakat

            1.    Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekal[1]
·      Imam Hanafi : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishob, atau memiliki satu nishab atau lebih, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
·      Imam Maliki : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta, sedangkanhartanya tidak mencukupi untuk keperluannya selama satu tahun.
·      Imam Syafi’i : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
·      Imam Hambali : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya.

2.    Orang Miskin yaitu orang yang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat di     pakai untuk memenuhi hidupnya.[2]
·      Imam Hanafi : Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
·      Imam Maliki : Orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
(menurut keduanya orang miskin ialah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang faqir )[3]
·      Imam Syafi’i : Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
·      Imam Hambali : Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
Terdapat persamaan dan perbedaan batasan tetang “Fakir dan Miskin”. Persamaan keduanya adalah orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Demikianlah menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah. Sedangkan perbedaannya : “Fakir” adalah orang yang tidak memliki sesuatu (harta) untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan tidak kuat berusaha (bekerja) untuk menutupi kebutuhan hidupnya tersebut.  Sedangkan “Miskin” adalah  orang yang lebih ringan kebutuhan hidupnya dibandingkan orang fakir. Renungkan firman Allah :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya:(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.(QS.Al-Baqarah : 273)
3.  Adapun batasan ‘Amil  zakat terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazhab sebagai berikut :
·         Imam Hanafi. ‘Amil adalah orang yang  diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
·         Imam Malik. ‘Amil adalah orang yang menjadi pencatat, pembagi, penasehat dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat.
·         Imam Hambali. ‘Amil  adalah pengurus zakat, dia diberi zakat sekedar  upah pekerjaannya. 
·         Imam Syafi’i. ‘Amil  adalah semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu .[4]
Rasulullah saw pernah mengangkat ‘Amil zakat seperti yang digambarkan dalam hadits berikut ini :
  حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ. (رواه البخاري )
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya, dari Abu Humaid As-Sa’adiy ra,  berkata : “Rasulullah saw  memperkerjakan seorang laki-laki untuk mengurus zakat Bani Sulaim yang dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Lutbiyah. Ketika orang itu kembali, beliau memberinya (upah dari bagian zakat)”(HR.Bukhari)
4.    Muallaf adalah orang yang baru masuk islam dan asih lemah imannya.
·         Imam Hanafi : Mereka tidak diberi zakat lagi sejak zaman kholifah Abu Bakar As-Shiddiq.
·         Imam Maliki : Madzhab ini mempunyai dua pendapat tentang muallaf, yaitu:
a.       Orang kafir yang ada harapan masuk islam.
b.      Orang yang baru memeluk islam.
·           Imam Syafi’i : Mempunyai dua pengertian tentang muallaf,
a.    Orang yang baru masuk islam dan masih lemah imannya.
b.   Orang islam yang berpengaruh dalam kaumnya dan ada harapan kalau dia diberi zakat orang disekitarnya akan masuk islam.
c.    Orang Islam yang kuat imannya dan punya pengaruh terhadap orang kafir, dan kalau dia diberi zakat, maka kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada di bawah pengaruhnya.
d.   Orang yang menolak kejahatan orang yang anti zakat.[5]
·           Imam Hambali : Muallaf adalah orang islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan orang lain akan masuk islam karena pengaruhnya.

5.  Riqob adalah memerdekakan budak, mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
·           Imam Hanafi : Riqob adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau dengan harta lainnya.
·           Imam Maliki : Riqob adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang zakat dan dimerdekakan
·           Imam Syafi’i : Riqob adalah hamba (budak) yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
·           Imam Hambali : Riqob adalah hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya.

Islam mengajarkan kebebasan dan kemerdekaan manusia, sehingga secara berangsur perbudakan dihapuskan, dan salah satunya melalui zakat. Sabda Nabi :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ.(رواه النسائي)
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Sa’id Al Maqburi, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,  beliau bersabda : “Tiga golongan yang semuanya merupakan hak atas Allah ‘azza wajalla untuk meolongnya,  yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah menginginkan kesucian diri, dan hamba sahaya (budak) yang mengadakan perjanjian pembebasan dirinya yang ingin menunaikan kewajibannya.” (HR.Nasai)

6.  Ghorimin adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Sabda Nabi :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ بُكَيْرٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ.(رواه مسلم)
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Bukair, dari ‘Iyadl bin ‘Abdullah, dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata “Seorang laki-laki mendapat musibah pada masa Rasulullah saw terkait dengan buah yang telah dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak, maka Rasulullah saw,  bersabda : “Bersedekahlah kepadanya.” Lantas orang-orang bersedekah kepadanya, akan tetapi (harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya, maka Rasulullah saw pun bersabda kepada orang yang dihutanginya: “Ambillah apa yang kamu dapatkan dan tidak ada cara lain bagimu selain cara tersebut.” (HR.Muslim)
·           Imam Hanafi : Ghorimin adalah orang yang mempunyai hutang, sedangkan artanya diluar hutang tidak cukup satu nishob. Dan ia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
·           Imam Maliki : Ghorimin adalah orang yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dan diberi zakat dengan syarat hutangnya bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
·           Imam Syafi’i : Mempunyai beberapa pengertian tentang ghorimin yaitu,[6]
a.      orang yang berhutang karena mendamaikan dua orang yang berselisih.
b.      orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri.
c.       orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain.
·           Imam Hambali : Mempunyai beberapa pengertian tentang ghorimin yaitu,
a.       orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang yang berselisih.
b.      orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram tetapi dia sudah bertaubat.
7.  Fisabilillah adalah orang yang berada dijalan Allah.[7]
·           Imam Hanafi : Fisabilillah adalah bala tentara yang berperang pada jalan Allah.
·           Imam Maliki : Fisabilillah adalah bala tentara, mata-mata dan untukmembeli perlengkapan perang dijalan Allah.
·           Imam Syafi’i : Fisabilillah adalah bala tentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri dan tidak mendapat gaji serta tidak mendapatkan harta yang disediakan untuk berperang.
·           Imam Hambali : Fisabilillah adalah bala tentara yang tidak mendapat gajidari pemerintah.
8.  Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat, dan mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
·           Imam Hanafi : Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
·           Imam Maliki : Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang kenegerinya. Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat
·           Imam Syafi’i : Ibnu Sabil adalah orang yang mengadakan perjalanan yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.
·           Imam Hambali : Ibnu Sabil adalah orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.



[1] Abu bakar, Imam Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar (Bina Iman, 9 H.) 441

[2] Yusuf Qordowi. Hukum Zakat (semrang: IAIN Walisongo) 513
[3] Ibid 513

[4] Sulaiman Rasjid H. Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1998) 210 – 213
[5] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,  Op cit, 502 – 505


[6] Abu bakar, Imam Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar. (Bina Iman, 9 H.)  446

[7] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab  (Jakarta: Lentera Basritama, 2000.) 193