1.
Badal
haji
Secara, bahasa,
badal haji atau haji badalberarti amanah hajiatau menghajikan orang lain. Dalam
terminologi fikih badal haji adalah haji yang dilakukan seseorang atas nama
orang yang sudah meninggal atau karenaadanya udzur syar’i baik jasmani maupun
rohani[1]
2.
Pendapat
kita
Jadi menurut
yang kami pahami berdasarkan definisi badal haji atau haji badal adalah
menghajikan seseorang di karenakan udzur syar’i atau karena meninggal dunia
oleh orang lain namun di niatkan bahwa kita menghajikan seseorang yang memiliki
udzur tersebut, dengan mengatas namakan seseorang tersebut.
3.
Badal
haji menurut 4 madzhab
Imam Hanafi,
Syafi’i dan Hanbali
membolehkannya dengan syarat orang tersebut memiliki uzur syar’i yang berlaku
seumur hidupnya, atau setidaknya diduga akan berlangsung seumur hidup.
Menurut Imam Malik, “Orang yang meninggal
tersebut dapat diwakili hajinya bila mewasiatkan saja. Namun jika tidak, maka
tidak perlu diwakili hajinya. Alasannya, haji adalah ibadah yang lebih
menonjolkan aspek fisik, sehingga tidak dapat diwakilkan. Sedangkan bila
diwakili hajinya, maka biayanya diambil dari sepertiga (harta warisnya)[2]
madzhab syafi’i dan hambali menyatakan pula
biaya pelaksanaan dapat di ambil dari harta peninggalannya.[3]
4.
Dalilnya
Dalam hadis dari
Ibnu Abbas r.a., juga telah disebutkan :
Artinya: “Dari
Ibnu Abbas r.a., bahwasanya ada seorang wanita dari kabila Juhainah mendatangi
Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji
hingga ia meninggal. Apakah aku harus menunaikan haji atas namanya?” beliau
bersabda, “Ya, tunaikanlah haji atas namanya, seandainya ibumu berhutang,
apakah engkau akan membayarnya? Tunaikanlah untuk Allah. Maka, sesungguhnya
Allah lebih berhak untuk ditepati hak-Nya.”(H.R.Bukhari).[4]
Hadist riwayat
Ibnu Abbas “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah
“Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak
mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji
untuknya?” Jawab Rasulullah “Ya, berhajilah untuknya” (H.R. Bukhari Muslim
dll.)
Seorang lelaki
datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata “Ayahku meninggal, padahal dipundaknya
ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah
menjawab “Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga
wajib membayarnya ? “Iya” jawabnya. Rasulullah berkata :”Berahajilah untuknya”.
(H.R. Dar Quthni)
Riwayat Ibnu
Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki
berkata “Labbaik ‘an Syubramah” (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah,
untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?”. “Dia saudaraku,
Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah
bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk
Syubramah”, lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni
dengan tambahan “Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah”.
Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama
Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti
juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an. Dalam sebuah
hadist riwayat Ubay bin Ka’ab pernah mengajari al-Qur’an lalu ia diberi hadiah
busur, Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau busur dari api menggantung di
lehermu, ya ambil saja”.(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada
Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah” (H.R.
Abu Dawud)[5]
5.
Pendapat
yang paling kuat
Pendapat yang
paling kuat tentunya pendapat jumhur ulama yakni imam syafi’i, hambali, hanafi.
Sebagaimana telah di terangkan di atas.
6.
Syarat
badal haji
Mayoritas ulama
fiqih membolehkan seseorang mewakilkan pelaksanaan hajinya kepada orang lain
selama memenuhi beberapa syarat berikut ini:[6]
1.
Fisiknya
terus-menerus lemah sampai ia meninggal, seperti orang sakit yang tidak ada
harapan untuk sembuh lagi dan orang tunanetra. Bila seseorang dalam keadaan
lemah tidak dapat mengerjakan haji sendiri. dan ia meminta orang lain
mengerjakannya, gugurlah kewajiban pergi sendiri untuk menunaikan ibadah haji
baginya, meskipun sewaktuwaktu keudzurannya tidak ada lagi. Bagi orang sakit
yang dapat diharapkan sembuh dan orang lain menggantikan pelaksanaan ibadah hajinya,
kemudian hilang keudzurannya, maka haji yang telah dilakukan tidak dapat
membebaskan dirinya dari kewajiban menunaikan haji sendiri.
2.
Hendaknya
ibadah haji itu diniatkan atas nama orang yang menyuruh. Jika si pengganti
meniatkan untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut tidak dipandang haji badal.
3.
Hendaklah
sebagian besar biaya pelaksanaan ibadah haji badal dibebankan kepada
orang yang dihajikan.
4.
Ulama
madzhab Hanafi tidak mensyaratkan upah bagi orang yang menghajikan, ia hanya
diberi biaya untuk pelaksanaan haji yang diperlukan.
5.
Hendaklah
orang yang mengerjakan haji badal, mengerjakan haji sesuai dengan yang dimaksud oleh yang dihajikan. Bila
disuruh untuk mengerjakan haji qiran, ia tidak boleh mengerjakan haji tamattu‟
atau haji ifrad.
6.
Hendaklah
niat ihram untuk seorang saja. Bila ia melakukan niat ihram untuk orang yang dihajikan dan dirinya sendiri, haji
itu tidak untuk keduanya.
7.
Mestilah
orang yang menghajikan dan orang yang dihajikan muslim dan berakal. Tidak sah
berhaji oleh dan untuk orang kafir serta oleh dan untuk orang gila, kecuali
kegilaan itu setelah pelaksanaan ibadah haji.
8.
Orang
yang menghajikan haruslah mumayyiz. Anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah
menghajikan orang lain.
9.
Hendaklah
yang menghajikan tersebut laki-laki. Tidak sah dihajikan oleh perempuan.
10.
Haruslah
orang yang menghajikan merdeka. Tidak sah dihajikan oleh budak.
11.
orang
yang melaksanakan badal haji disyaratkan sudah melaksanakan haji untuk
dirinya baik mampu atau tidak.[7]
Orang yang mewakilkannya
Madzhab Hanafi
menetapkan dua puluh syarat dan ketentuan untuk bolehnya berhaji atas nama
orang lain. Akan disebutkan syarat-syarat ini disertai pendapat para fuqaha
yang lain:[8]
1. Wakil berniat
pada waktu ihram atas nama orang tersebut, bukan atas nama dirinya sendiri.
Lebih utama wakil mengucapkan dengan lisannya, “Aku berihram atas nama Fulan,”
“Aku penuhi panggilan untuk berhaji atas nama Fulan,” “Aku berniat dan berihram
haji atas nama Fulan dengan ikhlas kepada Allah,” atau “kupenuhi panggilan-Mu
untuk berhaji atas nama Fulan,” seperti halnya jika dia berhaji atas nama dirinya
sendiri. Jika wakil lupa atas nama orang itu lalu dia meniatkan haji itu untuk
orang yang mewakilkan kepadanya, maka ini sah. Niat dalam hati saja cukup.
Syarat ini disepakati semua fuqaha.
2. Ashil
(pengemban asli kewajiban haji) tidak mampu menunaikan haji sendiri sementara dia punya harta. Jika ia
mampu menunaikan sendiri (yakni dia sehat) dan dia punya harta, orang lain
tidak boleh mewakilinya berhaji.
3. Ketidaksanggupan
itu (misalnya kurungan/tahanan atau sakit) berlanjut terus sampai mati. Syarat ini disepakati oleh
madzhab Hanafi dan Syafi‟i.
4. Adanya udzur
sebelum mewakilkan kepada orang lain
5. Nafkah
berasal dari harta orang yang mewakilkan
6. Berihram dari
miqat sesuai permintaan orang yang mewakilkan
7. Suruhan untuk
berhaji
8. Si wakil
harus memenuhi syarat haji agar hajinya sah
9. Si wakil
berangkat haji dengan berkendaraan, sebab yang wajib atasnya adalah pergi haji
dengan berkendaraan, maka perintah yang mutlak (yang tidak dijelaskan detil
tata cara pelaksanaannya) untuk berhaji diartikan dengan pelaksanaan haji
dengan cara tersebut.
10. Si wakil
berangkat haji atas nama orang yang diwakilinya dari negerinya jika sepertiga
warisannya mencukupi, hal ini dalam kondisi jika haji tersebut diwasiatkan
[1]
Abdul halim, Ensiklopedi hajidan
umrah/Abdul halim, ed 1.cet,1. Jakarta. PT. Raja Grafindopersada, 2002, 13.
[2]
Mohamad Taufik Hulaimi dkk., Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid I, Cet. I,
Jakarta: al-
I’tishom Cahaya Umat,
2010.
[3]
Abdul halim, Ensiklopedi hajidan
umrah/Abdul halim, ed 1.cet,1. Jakarta. PT. Raja Grafindopersada, 2002, 13.
[4]
Muhammad Bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul
Maram, Jilid ll, Cet.
Vlll, Jakarta: Darus Sunnah, 2013.
[5]
Shek faishalbin Abd aziz, Muhtasar Nailul
Author Himpunan Hadis Hukum. Surabayan: Bina ilmu, 1993. 1374. Atau sunan
abiu daud hadis No 1811, sunan ibnu majjah hadis no.2930 dan shahih ibnu
khuzaimah hadis No. 3039.
[6]
Said Agil Husin Al-Munawar, Fiqih Haji: Menuntun Jama’ah Haji Mencapai Haji Mabrur,
Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
[7]
Umi Aqilla, Panduan Praktis Haji dan Umrah, Cet. I, Jakarta: al-Maghfirah,
2013.
[8]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid III, Cet. X, Jakarta: Darul
Fikr,
2011.